Kamis, 09 Juni 2016

PERBEDAAN ANTARA BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL (Budharaningtyas)



        Di era modern seperti sekarang ini sudah banyak orang yang menabung atau menitipkan uang mereka di bank. Namun, banyak sumber yang mengatakan bahwa banyak bank yang menerapkan sistem bunga yang biasa disebut riba didalam islam. Seperti yang dijelaskan pada sumber BLK-B Group yang diunggah pada tahun 2012. Oleh karena itu, pada akhir abad ke-20 mulai berdiri bank-bank Islam atau yang sekarang sering disebut perbankan syariah yang menerapkan prinsip-prinsip Islam di lembaga-lembaga swasta atau semi swasta dalam komunitas muslim di dunia. Perbankan syariah atau bank Islam adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam. Pembentukan sistem ini berdasarkan hukum Islam yang melarang pinjaman dan bunga bank (riba).
Serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha berkategori haram. secara bersama- sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional mendukung dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif. Pada akhirnya sistem perbankan yang ingin diwujudkan oleh bank Indonesia adalah perbankan yang modern yang beraifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
         Bank syariah merupakan lembaga perbankan yang mengusung syariat Islam sebagai prinsipnya, serta tidak mengandalkan bunga dalam sistem pengoperasiannya. Di lain pihak, bank konvensional adalah bank yang melaksanakan usaha perbankan secara konvensional dengan cara memberikan jasa dalam jalur lalu lintas pembayaran. Banyaknya orang yang belum benar – benar mengerti tentang perbedaan kedua bank tersebut pasti akan menimbulkan pertanyaan yang lebih mengenai kedua bank tersebut, baik bank syariah maupun bank konvensional. Pada dasarnya, letak perbedaan bank syariah dan bank konvensional berada pada sistem pendapatan usahanya. Jika pada bank syariah menerapkan sistem bagi hasil, maka hal yang sebaliknya di terapkan pada bank konvensional, yaitu sistem bunga.
       Dalam prinsip bagi hasil yang diusung oleh bank syariah, penentuan besarnya resiko bagi hasil dapat ditentukan pada saat akad dengan berasumsi pada prediksi keuntungan dan kerugian. Sedangkan besarnya nisbah bagi hasil sangat ditentukan oleh keuntungan yang diperoleh. Pendapatan dari bank yang berbasis syariah sangat mempengaruhi pembagian hasil yang ditetapkan, jika pendapatan bank meningkat, bagi hasil pun dapat meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan bank tersebut. Hampir setiap nasabahnya tidak ada yang meragukan keuntungan dari bagi hasil yang diterapkan oleh bank syariah.
   Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
a. Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dima¬na mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
b. Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam.
c. Mudharabah Muqayyadah 
Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.
d.  Hiwalah (Alih Utang-Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
e.   Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
           Milik nasabah sendiri.
           Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
           Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka ke-lebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi kekurangannya.
f.   Qardh       
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank me¬nyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.

d. Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyakarah.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tanggung jawab nasabah.
Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha¬rus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.
     Sedangkan dalam bank konvensional, pedoman sistem bunga yang diusung haruslah berdasarkan pada pedoman yang menetapkan bahwa bank selalu mengalami keuntungan. Jumlah bunga yang dibayarkan tidak mengikat walaupun keuntungan yang diperoleh berlipat ganda pada saat keadaan ekonomi membaik. Selain itu, pembayaran bunganya tetap seperti apa yang telah dijanjikan sebelumnya tanpa adanya pertimbangan proyek yang dijalankan oleh nasabah.
     Untuk ikatan antara nasabah dan pihak bank juga memiliki perbedaan antara kedua jenis bank tersebut. pada bank syariah, terdapat kesamaan ikatan emosional yang kuat yang didasarkan pada prinsip keadilan, kesamaan derajat, dan ketentraman antara pihak pemegang saham, pengelola bank serta nasabahnya. Sedangkan pada bank konvensional, tidak adanya ikatan emosional antara pihak pengelola bank, pemegang saham, dan juga nasabah. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan yang bertolak belakang dari masing – masing pihak yang terkait.
Bank konvensional dan bank syariah tentu memiliki perbedaan dalam sistem apapun, perbedaannya antara lain :
1. Fungsi dan Kegiatan Bank
Dalam menjalankan kegiatannya, bank konvensional berfungsi menyediakan jasa keuangan dan sebagai intermediasi. Sementara itu, untuk bank syariah, selain menjadi intermediasi, jenis bank yang satu ini juga memiliki fungsi sebagai manajer investasi, investor sosial, dan tentu saja penyedia layanan keuangan.
2. Prinsip Dasar
Pada kegiatan usaha, pastinya ada prinsip dasar yang menjadi pegangan dalam menjalankan roda kegiatan. Begitu pula yang terjadi baik pada bank konvensional maupun bank syariah. Prinsip pertama menyangkut nilai. Bank konvensional berprinsip bebas nilai, sedangkan bank syariah menjunjung prinsip syariah Islam yang menyatakan tidak ada pembebasan nilai.
Prinsip kedua yaitu mengenai pandangan terhadap uang. Bank konvensional melihat uang sebagai komoditas. Artinya, uang dipandang sebagai barang yang dapat diperjual-belikan. Sementara itu, bank syariah memandang uang sebagai alat tukar. Jadi, dalam bank syariah, uang tidak dapat diperjual-belikan, namun dapat ditukarkan kepada bentuk lain sesuai kebutuhan.
Prinsip ketiga menyangkut tentang pertumbuhan dana yang disimpan nasabah  di kedua jenis bank tersebut. Di bank konvensional, uang akan bertumbuh dengan adanya pemberian bunga yang didapat dari pengelolaan pihak bank. Namun, bank syariah menolak sistem bunga tersebut, Untuk menumbuhkan uang nasabahnya, bank ini menerapkan sistem bagi hasil.
3. Sumber Likuiditas Jangka Pendek
Kedua jenis bank ini sama-sama memperoleh likuiditasnya dari dua sumber, yakni pasar uang dan bank sentral. Di Indonesia, yang dimaksud dengan bank sentral adalah Bank Indonesia. Hal yang membedakan antara likuiditas bank konvensional dengan bank syariah terletak di pasar uang. Likuiditas bank konvensional dari pasar uang bebas didapatkan dari emiten mana saja. Sementara itu, bank syariah hanya mengambil sumber dari pasar uang yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.
4. Risiko Usaha
Mengenai  risiko usaha, bank syariah menerapkan poin “ringan sama dijinjing, berat sama dipikul” antara bank dan nasabah. Hal ini membuat semua hal yang terjadi ditanggung secara bersama-sama, baik berupa keuntungan maupun kerugian. Sementara itu pada bank konvensional biasa, pihak bank tidak berurusan dengan risiko yang mungkin dihadapi nasabahnya. Pihak nasabah juga tidak perlu memikirkan risiko yang mungkin terjadi kepada bank tempatnya melakukan transaksi keuangan ataupun menyimpan dana.
5. Struktur Pengawas
Agar tidak melenceng dari tujuan dan fungsinya, setiap bank memiliki dewan pengawas yang tersusun dalam struktur organisasi lembaga tersebut. Di bank konvensional, struktur pengawas dijabat oleh dewan komisaris. Namun di bank syariah, Anda akan menemui struktur pengawas yang lebih kompleks, mulai dari dewan komisaris, dewan pengawas syariah, hingga dewan syariah nasional.
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis.

DAFTAR RUJUKAN
Group,BLK-B,2014,PerbankanSyariah, (http://blkb04.blogspot.com/artikel-tentang-perbanka-syariah).
Karunia, Reza, 2015, Perbedaan Mendasar Bank Konvensional dan Bank Syariah, (https://www.cermati.com/artikel/s-perbedaan-bank-konvensional-dan-syariah)
Vina. "Apa Perbedaan Bank". vinkael09@yahoo.com (diakses tanggal 1Agustus 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar