Di era modern seperti sekarang ini sudah
banyak orang yang menabung atau menitipkan uang mereka di bank. Namun, banyak
sumber yang mengatakan bahwa banyak bank yang menerapkan sistem bunga yang biasa
disebut riba didalam islam. Seperti yang dijelaskan pada sumber BLK-B Group
yang diunggah pada tahun 2012. Oleh karena itu, pada akhir abad ke-20 mulai
berdiri bank-bank Islam atau yang sekarang sering disebut perbankan syariah
yang menerapkan prinsip-prinsip Islam di lembaga-lembaga swasta atau semi
swasta dalam komunitas muslim di dunia. Perbankan syariah atau bank Islam adalah
suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya berdasarkan hukum Islam. Pembentukan
sistem ini berdasarkan hukum Islam yang melarang pinjaman dan bunga bank (riba).
Serta larangan untuk berinvestasi pada usaha-usaha
berkategori haram. secara bersama- sama, sistem perbankan syariah dan perbankan
konvensional mendukung dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan
kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional. Karakteristik
sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan
alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank,
serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi. Dengan menyediakan beragam
produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang
lebih bervariatif. Pada akhirnya sistem perbankan yang ingin diwujudkan oleh
bank Indonesia adalah perbankan yang modern yang beraifat universal, terbuka
bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Bank
syariah merupakan lembaga perbankan yang mengusung syariat Islam sebagai
prinsipnya, serta tidak mengandalkan bunga dalam sistem pengoperasiannya. Di
lain pihak, bank konvensional adalah bank yang melaksanakan usaha perbankan
secara konvensional dengan cara memberikan jasa dalam jalur lalu lintas
pembayaran. Banyaknya orang yang belum benar – benar mengerti tentang perbedaan
kedua bank tersebut pasti akan menimbulkan pertanyaan yang lebih mengenai kedua
bank tersebut, baik bank syariah maupun bank konvensional. Pada dasarnya, letak
perbedaan bank syariah dan bank konvensional berada pada sistem pendapatan
usahanya. Jika pada bank syariah menerapkan sistem bagi hasil, maka hal yang
sebaliknya di terapkan pada bank konvensional, yaitu sistem bunga.
Dalam
prinsip bagi hasil yang diusung oleh bank syariah, penentuan besarnya resiko
bagi hasil dapat ditentukan pada saat akad dengan berasumsi pada prediksi
keuntungan dan kerugian. Sedangkan besarnya nisbah bagi hasil sangat ditentukan
oleh keuntungan yang diperoleh. Pendapatan dari bank yang berbasis syariah
sangat mempengaruhi pembagian hasil yang ditetapkan, jika pendapatan bank
meningkat, bagi hasil pun dapat meningkat seiring dengan peningkatan pendapatan
bank tersebut. Hampir setiap nasabahnya tidak ada yang meragukan keuntungan
dari bagi hasil yang diterapkan oleh bank syariah.
Produk
pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah:
a. Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah
(syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah
dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai
asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan
musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih
dima¬na mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik
yang berwujud maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang
bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset),
kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property),
peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau
goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya
yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk
kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan
produk ini sangat fleksibel.
b. Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang
popular dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah
bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul
maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu
perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan
kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil
shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus
bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi
akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk
mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan
mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau
salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak,
sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah
dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al
amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan.
Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama
dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan
ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam.
c. Mudharabah Muqayyadah
Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya
sama dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pada adanya
pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.
d. Hiwalah
(Alih Utang-Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang.
Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu
supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank
mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko
kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak
yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan
yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya
kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan
supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya.
Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.
e. Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan
pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
• Milik
nasabah sendiri.
• Jelas
ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
• Dapat
dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah
dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai
dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau
cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan
penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak
untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan
melebihi kewajibannya, maka ke-lebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam
hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi kekurangannya.
f. Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam
perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon
haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya
perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk
kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang
tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang
ditentukan.
Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana
menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan
pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank
me¬nyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus
bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan
gajinya.
d. Wakalah (Perwakilan)
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila
nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan
jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad
pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana
nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat
dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau
musyakarah.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung
jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tanggung jawab
nasabah.
Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka
masing-masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah
dengan bank yang lain, kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas
sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha¬rus
mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan
tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan
bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui
bersama antara nasabah dengan bank.
Sedangkan dalam bank konvensional, pedoman
sistem bunga yang diusung haruslah berdasarkan pada pedoman yang menetapkan
bahwa bank selalu mengalami keuntungan. Jumlah bunga yang dibayarkan tidak
mengikat walaupun keuntungan yang diperoleh berlipat ganda pada saat keadaan
ekonomi membaik. Selain itu, pembayaran bunganya tetap seperti apa yang telah
dijanjikan sebelumnya tanpa adanya pertimbangan proyek yang dijalankan oleh
nasabah.
Untuk
ikatan antara nasabah dan pihak bank juga memiliki perbedaan antara kedua jenis
bank tersebut. pada bank syariah, terdapat kesamaan ikatan emosional yang kuat
yang didasarkan pada prinsip keadilan, kesamaan derajat, dan ketentraman antara
pihak pemegang saham, pengelola bank serta nasabahnya. Sedangkan pada bank
konvensional, tidak adanya ikatan emosional antara pihak pengelola bank,
pemegang saham, dan juga nasabah. Hal ini dilatarbelakangi oleh keinginan yang
bertolak belakang dari masing – masing pihak yang terkait.
Bank
konvensional dan bank syariah tentu memiliki perbedaan dalam sistem apapun,
perbedaannya antara lain :
1.
Fungsi dan Kegiatan Bank
Dalam
menjalankan kegiatannya, bank konvensional berfungsi menyediakan jasa keuangan
dan sebagai intermediasi. Sementara itu, untuk bank syariah, selain menjadi
intermediasi, jenis bank yang satu ini juga memiliki fungsi sebagai manajer
investasi, investor sosial, dan tentu saja penyedia layanan keuangan.
2.
Prinsip Dasar
Pada
kegiatan usaha, pastinya ada prinsip dasar yang menjadi pegangan dalam
menjalankan roda kegiatan. Begitu pula yang terjadi baik pada bank konvensional
maupun bank syariah. Prinsip pertama menyangkut nilai. Bank konvensional
berprinsip bebas nilai, sedangkan bank syariah menjunjung prinsip syariah Islam
yang menyatakan tidak ada pembebasan nilai.
Prinsip
kedua yaitu mengenai pandangan terhadap uang. Bank konvensional melihat uang
sebagai komoditas. Artinya, uang dipandang sebagai barang yang dapat
diperjual-belikan. Sementara itu, bank syariah memandang uang sebagai alat tukar.
Jadi, dalam bank syariah, uang tidak dapat diperjual-belikan, namun dapat
ditukarkan kepada bentuk lain sesuai kebutuhan.
Prinsip
ketiga menyangkut tentang pertumbuhan dana yang disimpan nasabah di kedua jenis bank tersebut. Di bank
konvensional, uang akan bertumbuh dengan adanya pemberian bunga yang didapat
dari pengelolaan pihak bank. Namun, bank syariah menolak sistem bunga tersebut,
Untuk menumbuhkan uang nasabahnya, bank ini menerapkan sistem bagi hasil.
3.
Sumber Likuiditas Jangka Pendek
Kedua
jenis bank ini sama-sama memperoleh likuiditasnya dari dua sumber, yakni pasar
uang dan bank sentral. Di Indonesia, yang dimaksud dengan bank sentral adalah
Bank Indonesia. Hal yang membedakan antara likuiditas bank konvensional dengan
bank syariah terletak di pasar uang. Likuiditas bank konvensional dari pasar
uang bebas didapatkan dari emiten mana saja. Sementara itu, bank syariah hanya
mengambil sumber dari pasar uang yang menerapkan prinsip-prinsip syariah.
4.
Risiko Usaha
Mengenai risiko usaha, bank syariah menerapkan poin
“ringan sama dijinjing, berat sama dipikul” antara bank dan nasabah. Hal ini
membuat semua hal yang terjadi ditanggung secara bersama-sama, baik berupa
keuntungan maupun kerugian. Sementara itu pada bank konvensional biasa, pihak
bank tidak berurusan dengan risiko yang mungkin dihadapi nasabahnya. Pihak
nasabah juga tidak perlu memikirkan risiko yang mungkin terjadi kepada bank
tempatnya melakukan transaksi keuangan ataupun menyimpan dana.
5.
Struktur Pengawas
Agar
tidak melenceng dari tujuan dan fungsinya, setiap bank memiliki dewan pengawas
yang tersusun dalam struktur organisasi lembaga tersebut. Di bank konvensional,
struktur pengawas dijabat oleh dewan komisaris. Namun di bank syariah, Anda
akan menemui struktur pengawas yang lebih kompleks, mulai dari dewan komisaris,
dewan pengawas syariah, hingga dewan syariah nasional.
Demikianlah
yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah
ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah
ini Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik
saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penulis para pembaca khusus pada penulis.
Group,BLK-B,2014,PerbankanSyariah, (http://blkb04.blogspot.com/artikel-tentang-perbanka-syariah).
Karunia, Reza, 2015, Perbedaan Mendasar Bank
Konvensional dan Bank Syariah, (https://www.cermati.com/artikel/s-perbedaan-bank-konvensional-dan-syariah)
Vina. "Apa Perbedaan Bank". vinkael09@yahoo.com
(diakses tanggal 1Agustus 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar