Rabu, 15 Juni 2016

IMPLIKASI PMK.191/010/2015 TENTANG INSENTIF REVALUASI AKTIVA TETAP dan PMK.169/010/2015 TENTANG DEBT to EQUITY RATIO PADA LABA SETELAH PAJAK PERUSAHAAN (Hafidhah Fachrina)

Pada tahun 2015, Direktorat Jendral Pajak menargetkan penerimaan pajak sebesar 68% dari anggaran pendapatan negara yang mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Terkait dengan target yang telah di tetapkan oleh pemerintah itu, banyak cara yang harus dilakukan untuk dapat mencapai target penerimaan dari sektor pajak tersebut. Dalam hal ini salah satu upayanya dengan mengeluarkan paket kebijakan ke-5 yang didalamnya termuat dua kebijakan perpajakan yaitu tentang pemberian intensif tarif atas revaluasi aktiva tetap dan pembatasan anatara utang dan modal (Debt to Equity Ratio) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah. Selain sebagai upaya pencapaian target penerimaan pajak, kebijakan tersebut dilakukan untuk menstabilkan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam struktur pendanaan dan kegiatan perusahaan terdiri dari dua sumber utama yaitu berasal dari pemegang saham (equity financing) dalam bentuk setoran modal dan akumulasi laba yang dibagikan sebagai dividen yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham dan yang berasal dari utang (debt financing) dalam bentuk utang dagang kepada pemasok barang atau penyedia jasa yang biasa disebut dengan suplier/vendor, utamg ke bank jangka pendek maupun utang jangka panjang dan utang kepada pihak-pihak yang berelasi, sepert pemegang sahzam atau anak perusahaan.
Dalam kebijakan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 169/PMK.010/2015 mengenai penentuan besarnya perbandingan utang dan modal perusahaan  untuk perhitungan pajak penghasilan. Pada peraturan sebelumnya masih menimbulkan permasalah besarmya terkait perbandingan utang modal hyang awalnya sebesar 3:1 yang diatur dalam KMK. Nomor 254/01/1985. Menurut Darussalam dan Kristiaji (2015) kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 169 Tahun 2015 tidak dapat dilepaskan dari adanya perlakuan pajak yang berbeda antara return dari pembiayaan melaui utang (bunga) dan modal (dividen) yang kemudian menciptakan efek distorsi dalam keputusan pembiayaan atau sering disebut sebagai debt bias.
Dari kedua sumber utama tersebut maka perlu adanya manajemen yang tepat terkait keuangan. Dalam manajemen keuangan dapat dilihat antara jumlah utang dan modal diperbandingkan untuk melihat sejauh mana sebuah perusahaan mampu melunasi utang jangka panjangnya (solvency).
Secara umum perusahaan yang mempunyai DER tinggi lebih memiliki risiko yang lebih tinggi pula, apabila dikaitkan dengan kewajiban kepada pihak ketiga dan dalam prkatiknya DER itu sendiri bervariasi untuk berbagai perusahaan tergantung dari jenis kegiatan, karakteristik usaha, serta kemampuan dan kemauan perushaan tersebut dalam menanggung risiko. Seperti contohnya bagi perusahaan pembiayaan yang aktivitasnya mengumpulkan dana dari nasabah dan kemudian menyalurkannya dalam bentuk kredit, maka DER-nya wajar apabila lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan jasa yang relatf tidak membutuhkan banyak modal kerja dalam operasinya. Karena pada dasarnya perputaran uang yang diakui sebagai utang tersebut cukup sering dan besar.
Secara komerssial rasio antara utang dan modal menjadi pertimbangan utama dalam pengalokasian pembiayaan bagi perusahaan. Dalam praktiknya, pemilihan penggunaan utang lebih banyak dibandingkan modal bagi sebagian besar perusahaan saat dijadikan sebagai salah ssatu strategi untuk penghematan pajak. Terdapat perbedaan perlakuan atas dividen sebagai imbalan modal dibandingkan dengan bunga sebagai imbalan atas utang dalam kaitannya perhitungan pajak penghasilan. Dividen bukan merupakan biaya sehingga tidak dapat menjadi pengurang dalam perhitungan pajak penghasilan badan, tetapi untuk bunga maupun biaya pinjaman dapat dijadikan pengurang dalam perhitungan pajak penghasilan.
Adanya praktik perencanaan pajak, perusahaan induk multinasional lebih banyak memberikan modal kerja kepada anak perusahaannya di negara lain dalam bentuk pinjaman dibandingkan dengan penyertaan modal karena dengan biaya bunga, beban pajak paenghasilan pada anak perusahaan akan lebih kecil. Berkaitan dengan itu, DER pada anak perusahaan diupayakan setinggi mungkin. Menurut perpajakan, kebijakan tersebut disebut dengan thin capitaliization yang merupakan salah satu cara penghidaran pajak khususnya yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Sering terjadinya upaya penghindaran pajak melalui thin capitaliization tersebut, maka pemerintah memiliki kewenangan dalam menentukan besaran perbandingan antara utang dan modal yang dicantumkan dalam Undang-undangan Pajak  Penghasilan pasal 18 ayat 1, yang kemudian diturunkan melalui PMK Nomor 169/PMK.010/2015 yang menetapkan DER sebesar 4:.1.
Sehubungan dengan adanya batasan perbandingan utang dan modal yang baru, maka perusahaan harus semakin giat untuk d apat meningkatkan jumlah modal yang berada di perushaan supaya dapat mengurangkan biaya pinjaman dalam perhitungan pajak penghasilan karena harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam PMK Nomor 169 tahun 2015 tersebut. Selain itu adanya DER yang sesuai dengan perpajakan dapat dilakukan melalui Revaluasi aktiva tetap yang untuk tahun 2016 telah diberikan insentif pajak Revaluasi Tetap melalui PMK.191 tahun 2015.
Terbitnya PMK.191 Tahun 2015 dilatar belakangi salah satunya adanya upaya dari pemerintah untuk meningkatkan perekonomian secara makro. Revaluasi aktiva tetap pernah diimplementasikan pada 15 tahun yang lalu, dimana adanya peraturan terkait revaluasi aktiva tetap dapat menyelamatkan PLN dalam mengatasi ancaman kebangkrutan. Ketika itu PT.PLN Persero hanya memiliki modal sebesar 9 Triliun, kemudian mengajukan pinjaman kepada pemerintah, namun pemerintah menyarankan untuk melakukan revaluasi aktiva tetap dan hasilnyaa aktiva tetap PLN dapat menyeimbangkan antara utang dan modalnya.
Insentif pajak revaluasi tetap ini diharapkan selain dapat menyumbang penerimaan pajak juga dapat membantu perusahaan swasta maupun BUMN dalam  meningkatkan usahanya. Dengan DER yang baik maka perusahaan dapat dengan mudah memperoleh pinjaman maupun menjadikan manajemen keuangannya menjadi baik, sehingga mampu mendorong produktivitas perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa. Perusahaan yang sedang mengalami kesulitan  modal dapat melakukan revaluasi tetap untuk membantu memperbaiki struktur modal melalui selisih nilai aktiva tetap setelah dilakukan revaluasi. Tidak hanya untuk perusahaan yang berskala besar perlunya perusahaan menengah kecil untuk melakukan revaluasi aktiva.
            Berdasarkan data yang diperoleh melalui situs online liputan6.com, Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro menyatakan, hingga saat ini (tahun 2016) sudah ada 79 perusahaan BUMN dari total 118 BUMN yang melakukan revaluasi aktiva. Hasilnya adalah aktiva perusahaan milik negara membengkak. Pada tahun 2014, total aktiva perusahan BUMN masih sebesar Rp 4.577 triliun. Setahun berselang, jumlahnya bertambah menjadi Rp 5.395 triliun. Setelah 79 perusahaan BUMN melakukan revaluasi aktiva, aktiva atau kekayaan BUMN membengkak 15,7 persen atau senilai Rp 845 triliun. Selain itu total aktiva BUMN menjadi Rp 6.240 triliun.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis dalam artikel ini perlu membahas lebih dalam terkait dengan PMK Nomor 169 dan PMK Nomor 191 Tahun 2015 sebagai upaya untuk mengetahui dengan jelas bagaimana implementasi dari kedua PMK tersebut dalam kegiatan usaha, karena memiliki keterkaitan diantara PMK Nomor 169 dengan PMK Nomor 191 tahun 2015 dan perlakuannya dalam perencanaan pajak, dan bagaimana perencanaan pajak (Tax Planning) terhadap Peraturan Menteri Keuangan untuk Wajib Pajak Badan untuk studi kasus PT. Waskita Karya (Persero) Tbk.

IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PMK.169/010/2015 TENTANG PENENTUAN BESARNYA RASIO DEBT TO EQUITY
Menurut Harahap dalam Erny Suarny (2001) Debt to Equity Ratio adalah rasio yang menggunakan hutang  dan modal untuk mengukur besarnya rasio. Sedangkan menurut Diah Andarini (2007) dalam Erly Suarny (2009), debt to equity ratio adalah  rasio yang dipergunakan untuk mengukur tingkat penggunaan utang terhadap total shareholder’s equity yang dimiliki perusahaan.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa Debt to Equty Ratio adalah rasio yang membandingkan antara jumlah utang dengan jumlah ekuitas yang dimiliki oleh perushaan.

Subjek PMK 191 Tahun 2015
Wajib pajak badan dalam negeri, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang mengalami pembukuan termasuk Wajib Pajak yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika dan Wajib Pajak yang pada saat penetapan penilaian kembali nilai aktiva tetap oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah belum melewati jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian kembali aktiva tetap terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008.

Tarf PPh atas Selisih Penilaian Menurut PMK 191 Tahun 2015
Perlakuan khusus yang telah diatur dalam Peraturan Mentri keuangan ini adalah Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar:
a.       3% (tiga persen), untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan Menteru ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2015;
b.      4% (empat persen), untuk permohonan yang diajukan sejak tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016;
c.       6% (enam persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016;
d.      10%, dalam hal pelunasan pajak dilakukan setelah 31 Desember 2016.

Penerapan Revaluasi Aktiva Tetap Menurut PMK 19 Tahun 2015                   
Dalam pelaksanaan Peraturan Menteri ini ada beberapa hal yaang perlu diperhatikan. Untuk Nilai aktiva tetap hasil penilaian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan nilai aktiva tetap yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah. Nilai aktiva tetap hasil perkiraan penilaian kembali oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan penilaian kembali dan ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, paling lambat tanggal:
a.       31 Desember 2016, untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2015;
b.      30 Juni 2017, untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016; atau
c.       31 Desember 2017, untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016.
Sedangkan Aktiva yang dapat di revaluasi adalah sebagian atau seluruh aktiva tetap berwujud yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Berdasarkan PMK 191 Tahun 2015 ketentuan penyusutan fiskal aktiva tetap adalah sebagai berikut:
a.       dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah nilai pada saat penilaian kembali aktiva tetap;
b.      masa manfaat fiskal aktiva tetap disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut; dan
c.       penghitungan penyusutan dimulai sejak tanggal 1 Januari 2016.
Dalam perhitungan Revaluasi Aktiva Tetap dapat dilakukan dengan cara Selisih lebih revaluasi=Nilai pasar – Nilai Buku Fiskal. Dalam hal revaluasi untuk tujuan perpajakan tidak mengenal istilah selisih kurang dan hanya mengenal selisih lebih yang merupakan objek  Pajak Penghasilan yang diberikan insentif pengurangan tarif.

Ketentuan Khusus
Dalam Hal Wajib Pajak melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:
a.       aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan kelompok 2 (dua) yang telah memperoleh keputusan persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
b.      aktiva tetap kelompok 3 (tiga), kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
Atas selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap di atas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan yang berlaku pada saat penilaian kembali aktiva tetap dikurangi pajak yang sudah dibayarkan, dan dilunasi dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah akhir bulan dilakukan pengalihan.
Pelunasan Pajak Penghasilan (PPh) Final terkait dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap dilakukan sebelum diajukannya permohonan dan dilengkapinya dokumen. Wajib Pajak dapat melakukan penilaian sendiri terlebih dahulu berdasarkan perkiraan untuk dapat melunasi perkiraan pajak terutang karena penilaian kembali aktiva tetap dan mengajukan permohonan. Meski demikian, hasil perkiraan penilaian wajib pajak tetap harus dilakukan penilaian kembali oleh kantor jasa penilai publik (atau ahli penilai dalam batas waktu yang ditentukan. Tambahan Obyek PPh Final=Nilai Aktiva hasil KJPP – Nilai Aktiva Hasil Perkiraan Sendiri. Dalam hal Wajib Pajak telah   memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dengan Bahasa Inggris dan mata uang Dollar, selisih lebih penilaian kembali (dasar pengenaan pajak/DPP) dikonversi ke dalam rupiah dengan KURS KMK pada saat pembayaran Pajak Penghasilan.

STUDI KASUS PADA PT.WASKITA KARYA (Persero) Tbk
Informasi Umum
PT. Waskita Karya (Perseroan) Tbk adalah perusahaan BUMN yang sebagian besar kegiatan usahanya  bergerak dibidang jasa konstruksi dan teknik yang terintregaasi. PT. Waskita Karya memiliki beberapa entitas anak seperti PT Waskita Karya Realty, PT Waskita Karya Beton dan sebagainya. Menurut laporan keuangan konsolidasi per 31 Desember 2015 Laba komprehensif PT Waskita Karya memperoleh Rp. 1.567.117.605.791 yang sebelumnya pada tahun 2014 mencapai Rp. 471.886.916.389.

Analisis Peningkatan Laba Komprehensif PT Waskita Karya (Persero) Tbk
Pengaruh Revaluasi Aktiva Tetap terhadap Debt To Equity Ratio dan Pajak Penghasilan Dilihat dalam Pos-Pos Laporan Keuangan
            Berdasarkan laporan konsolidasi PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang bersumber dari Bursa Efek Indonesia, Peningkatan laba komprehensif dari tahun 2014 ke 2015 sebesar Rp. 1.095.231.000.012  salah satunya disebabkan karena PT Waskita Karya melakukan revaluasi terhadap tanah dan bangunannya pada 8 Januari 2015 yang dilakukan oleh KJPP Asrori dan Rekan.
Dapat dilihat dalam Laporan Posisi keuangan dimana Aktiva tetap setelah penyusutan pada 2015 yaitu sebesar Rp. 1.923.143.995.454, Pada tahun 2014 sebesar Rp. 621.791.835.556 dan pada tahun 2013 Rp. 415.439.953.161. Dapat dilihat dalam gambar 1.1.
Gambar 1.1

Gambar 1.2

Kemudian dalam catatan atas laporan keuangan pada gambar 1.2 dijelaskan perhitungan terhadap revaluasi aktiva tetap untuk tanah dan gedung kantor menunjukan bahwa terdapat selisih lebih nilai aktiva setelah dilakukan revaluasi sebesar Rp. 507.371.858.079. Dari selisih nilai aktiva tersebut dikenakan Pajak Penghasilan final sebesar 3% (menggunakan PMK 191/PMK.010/2015) yaitu Rp. 15.221.155.700 untuk PPh finalnya. Perusahaan mencatat pada laporan keuangan atas revaluasi aktiva tetap sebesar Rp. 429.150.702.338 jumlah tersebut setelah dikurangi pajak.
Dalam hal revaluasi aktiva tetap yang mengakibatkan meningkatnya nilai aktiva tetap untuk gedung kantor akan berpengaruh terhadap beban penyusutan. Beban penyusutan aktiva tetap ini termsuk dalam deductible e xpense atau biaya yang dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak penghasilan. Beban penyusutan gedung kantor ini akan mempengaruhi terhadap beban penyusutan gedung kantor yang semakin besar akibat bertambahnya nilai dari aaktiva bangunan sehingga, total beban semakin besar pula yang kemudian akan mempengaruhi dalam perhitungan laba rugi sebagai dasar dalam perhitungan pajak penghasilan badan pasal 17 UU, maka PPh yang dikenakan akan lebih rendah. Dapat dilihat bahwa untuk beban penyusutan aktiva tetap tahun 2015 sebesar Rp. 8.087.449.686 sedangkan tahun 2014 sebesar Rp. 6.163.329.086. Adanya peningkatan beban penyusutan aktiva tetap sebesar Rp. 1.924.120.600. Hal ini berpengaruh terhadap laba setelaah pajak yang diperoleh.
Gambar 1.3

Selain dari sisi laporan laba rugi dapat dilihat dari sisi laporan posisi keuangan dalam elemen ekuitas. Dimana akan ada penambahan modal yang tidak dikenakan pajak atau bukan merupakan objek pajak. Seperti yang ada di laporan posisi keuangan PT. Waskita Karya dalam elemen ekuitas terdapat akun selisih ravaluasi tetap yang menambah total modal/ ekiutas PT Waskita Karya sebesar Rp. 429.150.702.338. Dapat dilihat dalam gambar 1.4
Gambar 1.4

Adanya penambahan modal ini akan meningkatkan rasio modal terhadap utang (Equity to Debt Ratio) dan rasio utang terhadap modal yang dikenal dengan Debt To Equity Ratio. Dalam peratutan perpajakan yang diatur dalam UU PPh pasal 18 Menteri keuangan berkewenangan untuk mementukan besaran perbandingan antara utng dan modal. Pasal tersebut yang diturunkan dalam PMK 169 Tahun 2015 yang memberi batasan perbandingan utang dan modal yaitu 4:1. Artinya untuk 4 (empat) utang dalam hal ini utang jangka pendek, utang dagang yang dikenakan bunga dan jangka panjang dapat ditanggung dengan 1 modal dari perusahan, modal yang dimaksud adalah total modal dalam satu tahun pajak. Selain itu pembatasan besaran DER untuk menghindarkan Penghindaran Pajak berupa Tax Evasion dengan skema Thin Capitalization
            Debt Equity Ratio dapat membuat posisi keuangan akan terlihat baik.  semakin besar DER  perusahaan dapat membuat perusahaan mudah dalam mendapatkan pinjaman dari pihak lain. Hal ini perlu diperhatikan oleh perusahaan, PT Waskita Karya Tbk memiliki perbandingan antara utang dan modal yang baik yaitu pada tahun 2015 perbandingan utang dan modal sebesar 1,5:1 dimana total utang PT Waskita Karya berada dibawah batas maksimum yang telah ditentukan oleh PMK 169 Tahun 2015 pada tahun 2014 besaran perbadingan utang dan modal sebesar 2:1, masih berada dibawah batas maksimum. Data tersebut terdapat dalam Catatan atas lampiran keuangan pada gambar 1.5 berikut:
Gambar 1.5


Analisis Perencanaan Pajak terkit PMK 169 Tahun 2015 dan PMK 191 Tahun 2015
Implikasi Revaluasi terhadap Tax Planning dari sisi Debt to Equity Ratio
             Dalam hal terkait dengan PMK 169 Tahun 2015 tentang Pembatasan perbandingan utang dan modal yang berkaitan dengan PMK 191 Tahun 2015 perlu dilakukan analisis dan perbandingan antara Debt to Equity Ratio sebelum revaluasi dan sesudah revaluasi. Dari Laporan Keuangan PT Waskita Karya per 31 Desember 2015, dapat diketahui:
Sebelum Revaluasi Aktiva (Tahun 2014)
Sesudah Revaluasi Aktiva (Tahun 2015)
Total Utang Rp.4.562.500.000.000
Total Utang Rp 6.940.092.700.530
Total Modal Rp. 760.000.000.000
Total Modal Rp. 9.704.206.867.663
DER = 4.562.500.000.000 : 760.000.000.000
= 4 : 1
DER = Rp 6.940.092.700.530 : Rp. 9.704.206.867.663
= 1,5 :1
Dari perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 2015 DER nya 1,5 : 1, hal ini menunjukan bahwa struktur modalnya baik karena 1 utang dapat ditanggung oleh modal yang dimiliki.
Setelah itu perlu dilakukan pengujian terhadap perbandingan DER dalam satu masa tahun yang sama, dalam kasus PT.Waskita Karya ini diasumsikan bahwa perurasahaan melakukan revaluasi di tahun 2014 dengan obyek dan jumlah yang direvaluasi sama dengan data revaluasi tahun 2015.Seperti contoh perhitungan sebagai berikut:
Tahun 2014
Sebelum Revaluasi Aktiva Tetap
Setelah Revaluasi Aktiva Tetap
Total Utang Rp.4.562.500.000.000
Total Utang Rp.4.562.500.000.000
Total Modal Rp. 760.000.000.000
Total Modal Rp. 760.000.000.000
-           
Selisih Nilai Rp. 507.371.858.079 (menambah total modal)
DER = Rp.4.562.500.000.000 : Rp. 760.000.000.000
= 4 : 1
DER = Rp. 4.562.500.000.000 : Rp. 13.272.350.545.131
= 3 : 1
Dalam contoh pengujian DER dalam satu tahun yang sama dengan asusmsi tersebut masih menunjukan bahwa DER menunjukan  besaran angka yang baik yaitu masih dibawah batas maksimal yang ditentukan.
            Dari perbandingan yang telah disajikan bahwa pengaruh Revaluasi aktiva Tetap terhadap batasan perbandingan utang dan modal yang dalam hal ini disebut Debt to Equity Ratio dapat berdampak pada aspek secara komersial dan fiskal (perpajakan). Implikasi tersebut dapat menjadi strategi dalam perencaan pajak . pengaruh yang diberikan terhadap pajak yang dikenkan diantaranya:
1.      Selisih dari nilai aktiva tersebut diakui sebagai penambahan modal yang tidak dalam bentuk uang, modal tersebut bukan merupakan objek pajak, maka modal tersebut dapat menjadi penambahan modal tanpa dikenakan pajak penghasilan.
2.      Biaya pinjaman atas utang jangka pendek dan panjang dapat diakui sebagai beban yang dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak penghasilan badan. Dan apabila tidak memenuhi persyaratan 4 : 1 perlu adanya penyesuaian. Jika kondisi ekuitas adalah nol maka biaya pinjaman tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai beban
3.      Wajib Pajak dapat terhindar dari pemeriksaan dari DJP karena adanya dugaan praktik penghindaran pajak dengan skema Thin Capitalization, dimana skema ini tidak diperbolehkan dalam perpajakan di Indonesia.
4.      Terkait dengan solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan dalam melunasi utang jangka panjang akan mempengaruhi pihak ketiga dalam memberikan pinjaman, semakin baik solvabilitasnya maka akan semakin mudah dalam memeperoleh pinjaman. Selain itu struktur modal dan utang yang dimiliki dapat menarik investor untuk menanamkan modalnya dalam perusahaan.

IMPLIKASI REVALUASI TERHADAP TAX PLANNING DARI SISI PAJAK PENGHASILAN
            Dalam perencanaan pajak terkait Revaluasi Aktiva tetap perlu dilakukan perhitungan terlebih dahulu apakah biaya yang dikeluarkan lebih besar jika dilakukan revaaluasi atau tidak? bagaimana pengaruhnya terhadap pajak penghasilan dimasa sekarang dan masa mendatang? dan apakah ketika melakukan revalusi perlu mengorbankan pengakuan time of money? Hal tersebuutt perlu dilakukan pertimbangan. Berikut perbandingan apabila dalam kasus ini PT Waskita Karya Melakukan Revaluasi dan apabila tidak melakukan Revaluasi pada tahun 2015.
            Dalam jangka panjang akan lebih menguntungkan apabila melakukan  revaluasi, karena secara time in money hanya akan ada pembebanan pajak penghasilan final di awal ketika melakukan revaluasi aktiva setelah itu tidak akan dikenakan dengan konsekuensi beban penyusutan setiap tahunnya akan jauh lebih besar dibandingkan apabila tidak melakukan revaluasi dalam jangka panjang tidak begitu menguntungkan.
            Apabila perusahaan melakukan revaluasi ada hal yang perlu diperhatikan yaitu pemanfaatan tarif yang sesuai dengan peraturan. Berikut  perbandingan perhitungan apabila menggunakan tarif PMK 79 Tahun 2008 sebesar 10% atau PMK 191 Tahun 2015 yaitu 3%, 4% dan 6%. PT Waskita Karya memanfaatkan insentif tarif terhadap revaluasi aktiva tetap akan memberikan penghematan pajak sampai dengan 7% sebesar 30% dari total pajak yang seharusnya dibayar apabila menggunakan tarif 10%.
            Terkait hal tersebut, penulis merekomendaasikan PT Waskita Karya untuk melakukan revaluasi aktiva tetap yang belum dilakukan revaluasi aktiva tetap untuk dapat memanfaatkan insentif tarif atas selisih nilai aktiva yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka penghematan pajak pada sektor pajak penghasilan. Selain itu revaluasi tetap dapat dijadikan sebagai perencanaan yang tepat dan efisien oleh suatu perusahaan.
            Dalam penulisan ini dapat disumpulkan bahwa terdapat keterkaitan terhadap implikasi Peraturan Mentri Keuangan Nomor 169 Tahun 2015 yang membahas tentang Pembatasan perbandingan antara utang dan modal dengan implikasi Peraturan Mentri Keuangan Nomor 191 Tahun 2015 tentang revaluasi tetap dengan mendapat insentif pajak berupa penurunan tarif PPh final. Pelaksanaan revaluasi aktiva tetap dapat mendorong meningkatkan Debt to Equity Ratio suatu entitas bisnis ke angka yang lebih baik dengan batasan yang telah ditetapkan yaitu 4:1. Dengan melakukan revaluasi aktiva maka akan berpengaruh ke berbagai aspek dalam pelaporan keuangan perusahaan termasuk terhadap pajak penghasilan. Pos yang dipengaruhi diantaranya tambahan modal yang berasal dari pendapatan komperhensif lainnya, modal baru ini bukan termasuk dalam objek pajak, biaya pinjaman yang dapat diakui sebagai beban dan beban penyusutan yang semakin besar akibat meningkatnya nilai aktiva yang telah direvaluasi. Debt to Equity Ratio bertujuan untuk mencegah tindakan Tax Evasion dengan skema thin capitalization yang sering dipraktikan oleh perusaahaan.
            Insentif Pajak penghasilan dalam hal tarif atas selisih nilai hasil revaluasi seperti yang telah diatur dalam PMK 191/PPMK.010/2015 dapat digunakan sebagai salah satu strategi perencaan pajak berkaitan dengan beban penyusutan dalam jangka waktu yang panjang. Karena beban penyusutaan semakin besar, maka laba yang diperoleh semakin kecil dan pajak yang dikenakan juga semakin kecil. Peraturan ini dapat digunakan sebagai salah satu perencanaan pajak yang baik dan menguntungkan karena selain tarif yang lebih rendah juga terdapat peningkatan modal yang akan berpengaruh terhadap Debt to Equity Ratio yang berdampak pada solvabilitas perusahaan. Dalam kasus PT Waskita Karya (Persero) TBK telah memberikan gambaran bagaimana implementasi dan perencanaan pajak atas PMK 169/PMK.010/2015 dan PMK 191/PMK.010/2015.

DAFTAR RUJUKAN
Tanpa Nama. 2000. Undang-Undang Perpajakan No 16 tahun 2009. Perubahan keempat atas undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
Tanpa Nama. 2008. Undang-Undang Perpajakan No 36 tahun 2008. Perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan.
Tanpa Nama. 2008. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008. Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
Tanpa Nama. 2015. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015. Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016.
Tanpa Nama. 2015. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015. Tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan
Darussalam, SE, Ak, MSi, LLM int.Tax & Danny Septriadi, SE, MSi, LLM int.Tax. Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Aviodance Rule. (online) Diakses dari http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=36&q=&hlm=2 pada tanggal 29 Maret 2016.
Suany, Erly. 2001. Perencanaan Pajak. Jakarta: Salemba Empat
Tanpa Nama.Laporan Keuangan PT. WASKITA KARYA (Persero) Tbk. Diakses dari http//www.idx.com pada tanggal 28 Maret 2016
Wirawan, B Ilyas DR.,Ak.,Msi.,CPA dan Diaz Priantara,Ak,Msi.,BKP.,CPA.2015.Akuntansi Perpajakan.Jakarta.Mitra Wacana Media.



1 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus