Pada tahun 2015,
Direktorat Jendral Pajak menargetkan penerimaan pajak sebesar 68% dari anggaran
pendapatan negara yang mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya. Terkait dengan
target yang telah di tetapkan oleh pemerintah itu, banyak cara yang harus
dilakukan untuk dapat mencapai target penerimaan dari sektor pajak tersebut.
Dalam hal ini salah satu upayanya dengan mengeluarkan paket kebijakan ke-5 yang
didalamnya termuat dua kebijakan perpajakan yaitu tentang pemberian intensif
tarif atas revaluasi aktiva tetap dan pembatasan anatara utang dan modal (Debt to Equity Ratio) yang dituangkan
dalam Peraturan Pemerintah. Selain sebagai upaya pencapaian target penerimaan
pajak, kebijakan tersebut dilakukan untuk menstabilkan dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dalam
struktur pendanaan dan kegiatan perusahaan terdiri dari dua sumber utama yaitu
berasal dari pemegang saham (equity financing)
dalam bentuk setoran modal dan akumulasi laba yang dibagikan sebagai dividen
yang tidak dibagikan kepada para pemegang saham dan yang berasal dari utang (debt financing) dalam bentuk utang dagang
kepada pemasok barang atau penyedia jasa yang biasa disebut dengan suplier/vendor,
utamg ke bank jangka pendek maupun utang jangka panjang dan utang kepada
pihak-pihak yang berelasi, sepert pemegang sahzam atau anak perusahaan.
Dalam
kebijakan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 169/PMK.010/2015
mengenai penentuan besarnya perbandingan utang dan modal perusahaan untuk perhitungan pajak penghasilan. Pada
peraturan sebelumnya masih menimbulkan permasalah besarmya terkait perbandingan
utang modal hyang awalnya sebesar 3:1 yang diatur dalam KMK. Nomor 254/01/1985. Menurut
Darussalam dan Kristiaji (2015) kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 169 Tahun
2015 tidak dapat dilepaskan dari adanya perlakuan pajak yang berbeda antara return dari pembiayaan melaui utang
(bunga) dan modal (dividen) yang kemudian menciptakan efek distorsi dalam
keputusan pembiayaan atau sering disebut sebagai debt bias.
Dari
kedua sumber utama tersebut maka perlu adanya manajemen yang tepat terkait
keuangan. Dalam manajemen keuangan dapat dilihat antara jumlah utang dan modal
diperbandingkan untuk melihat sejauh mana sebuah perusahaan mampu melunasi
utang jangka panjangnya (solvency).
Secara
umum perusahaan yang mempunyai DER tinggi lebih memiliki risiko yang lebih
tinggi pula, apabila dikaitkan dengan kewajiban kepada pihak ketiga dan dalam
prkatiknya DER itu sendiri bervariasi untuk berbagai perusahaan tergantung dari
jenis kegiatan, karakteristik usaha, serta kemampuan dan kemauan perushaan
tersebut dalam menanggung risiko. Seperti contohnya bagi perusahaan pembiayaan
yang aktivitasnya mengumpulkan dana dari nasabah dan kemudian menyalurkannya
dalam bentuk kredit, maka DER-nya wajar apabila lebih tinggi dibandingkan
dengan perusahaan jasa yang relatf tidak membutuhkan banyak modal kerja dalam
operasinya. Karena pada dasarnya perputaran uang yang diakui sebagai utang
tersebut cukup sering dan besar.
Secara
komerssial rasio antara utang dan modal menjadi pertimbangan utama dalam
pengalokasian pembiayaan bagi perusahaan. Dalam praktiknya, pemilihan penggunaan
utang lebih banyak dibandingkan modal bagi sebagian besar perusahaan saat
dijadikan sebagai salah ssatu strategi untuk penghematan pajak. Terdapat
perbedaan perlakuan atas dividen sebagai imbalan modal dibandingkan dengan
bunga sebagai imbalan atas utang dalam kaitannya perhitungan pajak penghasilan.
Dividen bukan merupakan biaya sehingga tidak dapat menjadi pengurang dalam
perhitungan pajak penghasilan badan, tetapi untuk bunga maupun biaya pinjaman
dapat dijadikan pengurang dalam perhitungan pajak penghasilan.
Adanya
praktik perencanaan pajak, perusahaan induk multinasional lebih banyak
memberikan modal kerja kepada anak perusahaannya di negara lain dalam bentuk
pinjaman dibandingkan dengan penyertaan modal karena dengan biaya bunga, beban
pajak paenghasilan pada anak perusahaan akan lebih kecil. Berkaitan dengan itu,
DER pada anak perusahaan diupayakan setinggi mungkin. Menurut perpajakan,
kebijakan tersebut disebut dengan thin
capitaliization yang merupakan salah satu cara penghidaran pajak khususnya yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional.
Sering
terjadinya upaya penghindaran pajak melalui thin
capitaliization tersebut, maka pemerintah memiliki kewenangan dalam
menentukan besaran perbandingan antara utang dan modal yang dicantumkan dalam
Undang-undangan Pajak Penghasilan pasal
18 ayat 1, yang kemudian diturunkan melalui PMK Nomor 169/PMK.010/2015 yang
menetapkan DER sebesar 4:.1.
Sehubungan
dengan adanya batasan perbandingan utang dan modal yang baru, maka perusahaan
harus semakin giat untuk d apat meningkatkan jumlah modal yang berada di
perushaan supaya dapat mengurangkan biaya pinjaman dalam perhitungan pajak
penghasilan karena harus memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam PMK Nomor
169 tahun 2015 tersebut. Selain itu adanya DER yang sesuai dengan perpajakan
dapat dilakukan melalui Revaluasi aktiva tetap yang untuk tahun 2016 telah
diberikan insentif pajak Revaluasi Tetap melalui PMK.191 tahun 2015.
Terbitnya
PMK.191 Tahun 2015 dilatar belakangi salah satunya adanya upaya dari pemerintah
untuk meningkatkan perekonomian secara makro. Revaluasi aktiva tetap pernah
diimplementasikan pada 15 tahun yang lalu, dimana adanya peraturan terkait
revaluasi aktiva tetap dapat menyelamatkan PLN dalam mengatasi ancaman
kebangkrutan. Ketika itu PT.PLN Persero hanya memiliki modal sebesar 9 Triliun,
kemudian mengajukan pinjaman kepada pemerintah, namun pemerintah menyarankan
untuk melakukan revaluasi aktiva tetap dan hasilnyaa aktiva tetap PLN dapat
menyeimbangkan antara utang dan modalnya.
Insentif
pajak revaluasi tetap ini diharapkan selain dapat menyumbang penerimaan pajak
juga dapat membantu perusahaan swasta maupun BUMN dalam meningkatkan usahanya. Dengan DER yang baik
maka perusahaan dapat dengan mudah memperoleh pinjaman maupun menjadikan
manajemen keuangannya menjadi baik, sehingga mampu mendorong produktivitas
perusahaan dalam menghasilkan barang dan jasa. Perusahaan yang sedang mengalami
kesulitan modal dapat melakukan
revaluasi tetap untuk membantu memperbaiki struktur modal melalui selisih nilai
aktiva tetap setelah dilakukan revaluasi. Tidak hanya untuk perusahaan yang
berskala besar perlunya perusahaan menengah kecil untuk melakukan revaluasi aktiva.
Berdasarkan data yang diperoleh
melalui situs online liputan6.com, Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis
Kementerian BUMN Wahyu Kuncoro menyatakan, hingga saat ini (tahun 2016) sudah
ada 79 perusahaan BUMN dari total 118 BUMN yang melakukan revaluasi
aktiva. Hasilnya adalah aktiva perusahaan milik negara membengkak. Pada tahun
2014, total aktiva perusahan BUMN masih sebesar Rp 4.577 triliun. Setahun
berselang, jumlahnya bertambah menjadi Rp 5.395 triliun. Setelah 79 perusahaan
BUMN melakukan revaluasi aktiva, aktiva atau kekayaan BUMN membengkak 15,7
persen atau senilai Rp 845 triliun. Selain itu total aktiva BUMN menjadi Rp
6.240 triliun.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, maka penulis dalam artikel ini perlu membahas lebih
dalam terkait dengan PMK Nomor 169 dan PMK Nomor 191 Tahun 2015 sebagai upaya
untuk mengetahui dengan jelas bagaimana implementasi dari kedua PMK tersebut
dalam kegiatan usaha, karena memiliki keterkaitan diantara PMK Nomor 169 dengan
PMK Nomor 191 tahun 2015 dan perlakuannya dalam perencanaan pajak, dan
bagaimana perencanaan pajak (Tax Planning)
terhadap Peraturan Menteri Keuangan untuk Wajib Pajak Badan untuk studi kasus
PT. Waskita Karya (Persero) Tbk.
IMPLEMENTASI PERATURAN MENTERI
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PMK.169/010/2015 TENTANG PENENTUAN BESARNYA RASIO DEBT TO EQUITY
Menurut Harahap dalam Erny Suarny
(2001) Debt to Equity Ratio adalah
rasio yang menggunakan hutang dan modal
untuk mengukur besarnya rasio. Sedangkan menurut Diah Andarini (2007) dalam
Erly Suarny (2009), debt to equity ratio
adalah rasio yang dipergunakan untuk
mengukur tingkat penggunaan utang terhadap total shareholder’s equity yang
dimiliki perusahaan.
Dari beberapa pendapat tersebut
dapat disimpulkan bahwa Debt to Equty
Ratio adalah rasio yang membandingkan antara jumlah utang dengan jumlah
ekuitas yang dimiliki oleh perushaan.
Subjek PMK 191 Tahun
2015
Wajib
pajak badan dalam negeri, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan Wajib Pajak Orang
Pribadi yang mengalami pembukuan termasuk Wajib Pajak yang memperoleh izin
menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika
dan Wajib Pajak yang pada saat
penetapan penilaian kembali nilai aktiva tetap oleh kantor jasa
penilai publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah
belum melewati jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penilaian
kembali aktiva tetap terakhir berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
79/PMK.03/2008.
Tarf PPh atas Selisih
Penilaian Menurut PMK 191 Tahun 2015
Perlakuan
khusus yang telah diatur dalam Peraturan Mentri keuangan ini adalah Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebesar:
a. 3%
(tiga persen), untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan Menteru
ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2015;
b. 4%
(empat persen), untuk permohonan yang diajukan sejak tanggal 1 Januari 2016
sampai dengan tanggal 30 Juni 2016;
c. 6%
(enam persen), untuk permohonan yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan
tanggal 31 Desember 2016;
d. 10%, dalam hal pelunasan pajak dilakukan setelah
31 Desember 2016.
Penerapan Revaluasi
Aktiva Tetap Menurut PMK 19 Tahun 2015
Dalam pelaksanaan Peraturan Menteri ini
ada beberapa hal yaang perlu diperhatikan. Untuk Nilai aktiva tetap hasil
penilaian kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan nilai aktiva tetap
yang ditetapkan oleh kantor jasa penilai publik atau ahli penilai, yang
memperoleh izin dari Pemerintah. Nilai aktiva tetap hasil perkiraan
penilaian kembali oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus dilakukan penilaian kembali dan ditetapkan oleh kantor jasa penilai
publik atau ahli penilai, yang memperoleh izin dari Pemerintah, paling
lambat tanggal:
a. 31 Desember
2016, untuk permohonan yang diajukan sejak berlakunya Peraturan
Menteri ini sampai dengan tanggal 31 Desember 2015;
b.
30 Juni 2017, untuk permohonan yang
diajukan sejak 1 Januari 2016 sampai dengan tanggal 30 Juni 2016; atau
c.
31 Desember 2017, untuk permohonan
yang diajukan sejak 1 Juli 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016.
Sedangkan Aktiva yang dapat di revaluasi adalah
sebagian atau seluruh aktiva tetap berwujud yang terletak atau berada di
Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Berdasarkan PMK 191 Tahun
2015 ketentuan penyusutan fiskal aktiva tetap adalah sebagai berikut:
a.
dasar penyusutan fiskal aktiva tetap
adalah nilai pada saat penilaian kembali aktiva tetap;
b.
masa manfaat fiskal aktiva tetap disesuaikan
kembali menjadi masa manfaat penuh untuk kelompok aktiva tetap tersebut;
dan
c.
penghitungan penyusutan dimulai
sejak tanggal 1 Januari 2016.
Dalam perhitungan Revaluasi Aktiva Tetap dapat
dilakukan dengan cara Selisih lebih revaluasi=Nilai pasar – Nilai Buku Fiskal. Dalam
hal revaluasi untuk tujuan perpajakan tidak mengenal istilah selisih kurang dan
hanya mengenal selisih lebih yang merupakan objek Pajak Penghasilan yang diberikan insentif
pengurangan tarif.
Ketentuan Khusus
Dalam Hal Wajib Pajak melakukan pengalihan aktiva tetap berupa:
a.
aktiva tetap kelompok 1 (satu) dan
kelompok 2 (dua) yang telah memperoleh keputusan persetujuan penilaian
kembali sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7; atau
b.
aktiva tetap kelompok 3 (tiga),
kelompok 4 (empat), bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan
penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
Atas
selisih lebih penilaian kembali aktiva tetap di atas nilai sisa buku fiskal
semula, dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan
tarif sebesar tarif tertinggi Pajak Penghasilan yang berlaku pada saat
penilaian kembali aktiva tetap dikurangi pajak yang sudah dibayarkan, dan dilunasi
dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari setelah akhir bulan dilakukan
pengalihan.
Pelunasan Pajak Penghasilan (PPh) Final terkait
dilakukannya penilaian kembali aktiva tetap dilakukan sebelum diajukannya
permohonan dan dilengkapinya dokumen. Wajib Pajak dapat melakukan penilaian sendiri
terlebih dahulu berdasarkan perkiraan untuk dapat melunasi perkiraan pajak
terutang karena penilaian kembali aktiva tetap dan mengajukan permohonan. Meski
demikian, hasil perkiraan penilaian wajib pajak tetap harus dilakukan penilaian
kembali oleh kantor jasa penilai publik (atau ahli penilai dalam batas waktu
yang ditentukan. Tambahan Obyek PPh Final=Nilai Aktiva hasil KJPP – Nilai Aktiva
Hasil Perkiraan Sendiri. Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan
dengan Bahasa Inggris dan mata uang Dollar, selisih lebih penilaian kembali
(dasar pengenaan pajak/DPP) dikonversi ke dalam rupiah dengan KURS KMK pada
saat pembayaran Pajak Penghasilan.
STUDI KASUS
PADA PT.WASKITA KARYA (Persero) Tbk
Informasi
Umum
PT. Waskita
Karya (Perseroan) Tbk adalah perusahaan BUMN yang sebagian besar kegiatan
usahanya bergerak dibidang jasa
konstruksi dan teknik yang terintregaasi. PT. Waskita Karya memiliki beberapa
entitas anak seperti PT Waskita Karya Realty, PT Waskita Karya Beton dan
sebagainya. Menurut laporan keuangan konsolidasi per 31 Desember 2015 Laba
komprehensif PT Waskita Karya memperoleh Rp. 1.567.117.605.791 yang sebelumnya
pada tahun 2014 mencapai Rp. 471.886.916.389.
Analisis
Peningkatan Laba Komprehensif PT Waskita Karya (Persero) Tbk
Pengaruh Revaluasi Aktiva Tetap terhadap Debt To Equity Ratio dan Pajak Penghasilan Dilihat dalam Pos-Pos
Laporan Keuangan
Berdasarkan
laporan konsolidasi PT Waskita Karya (Persero) Tbk yang bersumber dari Bursa
Efek Indonesia, Peningkatan laba komprehensif dari tahun 2014 ke 2015 sebesar
Rp. 1.095.231.000.012 salah satunya
disebabkan karena PT Waskita Karya melakukan revaluasi terhadap tanah dan
bangunannya pada 8 Januari 2015 yang dilakukan oleh KJPP Asrori dan Rekan.
Dapat
dilihat dalam Laporan Posisi keuangan dimana Aktiva tetap setelah penyusutan
pada 2015 yaitu sebesar Rp. 1.923.143.995.454, Pada tahun 2014 sebesar Rp.
621.791.835.556 dan pada tahun 2013 Rp. 415.439.953.161. Dapat dilihat dalam gambar 1.1.
Gambar 1.1
Gambar 1.2
Kemudian dalam catatan atas laporan keuangan
pada gambar 1.2 dijelaskan perhitungan terhadap revaluasi aktiva tetap untuk
tanah dan gedung kantor menunjukan bahwa terdapat selisih lebih nilai aktiva
setelah dilakukan revaluasi sebesar Rp. 507.371.858.079. Dari selisih nilai
aktiva tersebut dikenakan Pajak Penghasilan final sebesar 3% (menggunakan PMK
191/PMK.010/2015) yaitu Rp. 15.221.155.700 untuk PPh finalnya. Perusahaan mencatat pada
laporan keuangan atas revaluasi aktiva tetap sebesar Rp. 429.150.702.338 jumlah
tersebut setelah dikurangi pajak.
Dalam hal revaluasi aktiva tetap yang
mengakibatkan meningkatnya nilai aktiva tetap untuk gedung kantor akan
berpengaruh terhadap beban penyusutan. Beban penyusutan aktiva tetap ini termsuk
dalam deductible e xpense atau biaya
yang dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak penghasilan. Beban penyusutan
gedung kantor ini akan mempengaruhi terhadap beban penyusutan gedung kantor
yang semakin besar akibat bertambahnya nilai dari aaktiva bangunan sehingga,
total beban semakin besar pula yang kemudian akan mempengaruhi dalam
perhitungan laba rugi sebagai dasar dalam perhitungan pajak penghasilan badan
pasal 17 UU, maka PPh yang dikenakan akan lebih rendah. Dapat dilihat bahwa
untuk beban penyusutan aktiva tetap tahun 2015 sebesar Rp. 8.087.449.686
sedangkan tahun 2014 sebesar Rp. 6.163.329.086. Adanya peningkatan beban
penyusutan aktiva tetap sebesar Rp. 1.924.120.600. Hal ini berpengaruh terhadap
laba setelaah pajak yang diperoleh.
Gambar 1.4
Adanya penambahan modal ini akan meningkatkan rasio modal terhadap
utang (Equity to Debt Ratio) dan
rasio utang terhadap modal yang dikenal dengan Debt To Equity Ratio. Dalam peratutan perpajakan yang diatur dalam
UU PPh pasal 18 Menteri keuangan berkewenangan untuk mementukan besaran
perbandingan antara utng dan modal. Pasal tersebut yang diturunkan dalam PMK
169 Tahun 2015 yang memberi batasan perbandingan utang dan modal yaitu 4:1.
Artinya untuk 4 (empat) utang dalam hal ini utang jangka pendek, utang dagang
yang dikenakan bunga dan jangka panjang dapat ditanggung dengan 1 modal dari
perusahan, modal yang dimaksud adalah total modal dalam satu tahun pajak.
Selain itu pembatasan besaran DER untuk menghindarkan Penghindaran Pajak berupa Tax Evasion dengan skema Thin
Capitalization
Debt Equity Ratio dapat membuat posisi
keuangan akan terlihat baik. semakin
besar DER perusahaan dapat membuat
perusahaan mudah dalam mendapatkan pinjaman dari pihak lain. Hal ini perlu
diperhatikan oleh perusahaan, PT Waskita Karya Tbk memiliki perbandingan antara
utang dan modal yang baik yaitu pada tahun 2015 perbandingan utang dan modal
sebesar 1,5:1 dimana total utang PT Waskita Karya berada dibawah batas maksimum
yang telah ditentukan oleh PMK 169 Tahun 2015 pada tahun 2014 besaran
perbadingan utang dan modal sebesar 2:1, masih berada dibawah batas maksimum.
Data tersebut terdapat dalam Catatan atas lampiran keuangan pada gambar 1.5
berikut:
Gambar 1.5
Analisis Perencanaan Pajak terkit PMK 169 Tahun 2015 dan PMK 191 Tahun 2015
Implikasi Revaluasi terhadap Tax Planning dari sisi Debt to Equity Ratio
Dalam hal terkait dengan PMK 169 Tahun 2015
tentang Pembatasan perbandingan utang dan modal yang berkaitan dengan PMK 191
Tahun 2015 perlu dilakukan analisis dan perbandingan antara Debt to Equity
Ratio sebelum revaluasi dan sesudah revaluasi. Dari Laporan Keuangan PT Waskita
Karya per 31 Desember 2015, dapat diketahui:
Sebelum Revaluasi Aktiva (Tahun 2014)
|
Sesudah Revaluasi Aktiva (Tahun 2015)
|
Total Utang Rp.4.562.500.000.000
|
Total Utang Rp 6.940.092.700.530
|
Total Modal Rp. 760.000.000.000
|
Total Modal Rp. 9.704.206.867.663
|
DER = 4.562.500.000.000 : 760.000.000.000
= 4 : 1
|
DER = Rp 6.940.092.700.530 : Rp. 9.704.206.867.663
= 1,5 :1
|
Dari
perbandingan tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 2015 DER nya 1,5 : 1, hal
ini menunjukan bahwa struktur modalnya baik karena 1 utang dapat ditanggung
oleh modal yang dimiliki.
Setelah itu
perlu dilakukan pengujian terhadap perbandingan DER dalam satu masa tahun yang
sama, dalam kasus PT.Waskita Karya ini diasumsikan bahwa perurasahaan melakukan
revaluasi di tahun 2014 dengan obyek dan jumlah yang direvaluasi sama dengan
data revaluasi tahun 2015.Seperti contoh perhitungan sebagai berikut:
Tahun 2014
|
|
Sebelum Revaluasi Aktiva Tetap
|
Setelah Revaluasi Aktiva Tetap
|
Total Utang Rp.4.562.500.000.000
|
Total Utang Rp.4.562.500.000.000
|
Total Modal Rp. 760.000.000.000
|
Total Modal Rp. 760.000.000.000
|
-
|
Selisih Nilai Rp. 507.371.858.079 (menambah total modal)
|
DER = Rp.4.562.500.000.000 : Rp.
760.000.000.000
= 4 : 1
|
DER = Rp. 4.562.500.000.000 : Rp.
13.272.350.545.131
= 3 : 1
|
Dalam contoh
pengujian DER dalam satu tahun yang sama dengan asusmsi tersebut masih
menunjukan bahwa DER menunjukan besaran
angka yang baik yaitu masih dibawah batas maksimal yang ditentukan.
Dari perbandingan yang telah
disajikan bahwa pengaruh Revaluasi aktiva Tetap terhadap batasan perbandingan
utang dan modal yang dalam hal ini disebut Debt
to Equity Ratio dapat berdampak pada aspek secara komersial dan fiskal
(perpajakan). Implikasi tersebut dapat menjadi strategi dalam perencaan pajak .
pengaruh yang diberikan terhadap pajak yang dikenkan diantaranya:
1. Selisih dari
nilai aktiva tersebut diakui sebagai penambahan modal yang tidak dalam bentuk
uang, modal tersebut bukan merupakan objek pajak, maka modal tersebut dapat
menjadi penambahan modal tanpa dikenakan pajak penghasilan.
2. Biaya
pinjaman atas utang jangka pendek dan panjang dapat diakui sebagai beban yang
dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak penghasilan badan. Dan apabila tidak
memenuhi persyaratan 4 : 1 perlu adanya penyesuaian. Jika kondisi ekuitas
adalah nol maka biaya pinjaman tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai beban
3. Wajib Pajak
dapat terhindar dari pemeriksaan dari DJP karena adanya dugaan praktik
penghindaran pajak dengan skema Thin
Capitalization, dimana skema ini tidak diperbolehkan dalam perpajakan di
Indonesia.
4. Terkait
dengan solvabilitas, yaitu kemampuan perusahaan dalam melunasi utang jangka
panjang akan mempengaruhi pihak ketiga dalam memberikan pinjaman, semakin baik
solvabilitasnya maka akan semakin mudah dalam memeperoleh pinjaman. Selain itu
struktur modal dan utang yang dimiliki dapat menarik investor untuk menanamkan
modalnya dalam perusahaan.
IMPLIKASI REVALUASI TERHADAP TAX PLANNING DARI SISI PAJAK PENGHASILAN
Dalam perencanaan pajak terkait
Revaluasi Aktiva tetap perlu dilakukan perhitungan terlebih dahulu apakah biaya
yang dikeluarkan lebih besar jika dilakukan revaaluasi atau tidak? bagaimana
pengaruhnya terhadap pajak penghasilan dimasa sekarang dan masa mendatang? dan
apakah ketika melakukan revalusi perlu mengorbankan pengakuan time of money? Hal tersebuutt perlu
dilakukan pertimbangan. Berikut perbandingan apabila dalam kasus ini PT Waskita
Karya Melakukan Revaluasi dan apabila tidak melakukan Revaluasi pada tahun
2015.
Dalam jangka panjang akan lebih
menguntungkan apabila melakukan
revaluasi, karena secara time in
money hanya akan ada pembebanan pajak penghasilan final di awal ketika
melakukan revaluasi aktiva setelah itu tidak akan dikenakan dengan konsekuensi
beban penyusutan setiap tahunnya akan jauh lebih besar dibandingkan apabila
tidak melakukan revaluasi dalam jangka panjang tidak begitu menguntungkan.
Apabila perusahaan melakukan
revaluasi ada hal yang perlu diperhatikan yaitu pemanfaatan tarif yang sesuai
dengan peraturan. Berikut perbandingan
perhitungan apabila menggunakan tarif PMK 79 Tahun 2008 sebesar 10% atau PMK
191 Tahun 2015 yaitu 3%, 4% dan 6%. PT Waskita Karya memanfaatkan insentif
tarif terhadap revaluasi aktiva tetap akan memberikan penghematan pajak sampai
dengan 7% sebesar 30% dari total pajak yang seharusnya dibayar apabila
menggunakan tarif 10%.
Terkait hal tersebut, penulis
merekomendaasikan PT Waskita Karya untuk melakukan revaluasi aktiva tetap yang
belum dilakukan revaluasi aktiva tetap untuk dapat memanfaatkan insentif tarif
atas selisih nilai aktiva yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka
penghematan pajak pada sektor pajak penghasilan. Selain itu revaluasi tetap
dapat dijadikan sebagai perencanaan yang tepat dan efisien oleh suatu
perusahaan.
Dalam
penulisan ini dapat disumpulkan bahwa terdapat keterkaitan terhadap implikasi
Peraturan Mentri Keuangan Nomor 169 Tahun 2015 yang membahas tentang Pembatasan
perbandingan antara utang dan modal dengan implikasi Peraturan Mentri Keuangan
Nomor 191 Tahun 2015 tentang revaluasi tetap dengan mendapat insentif pajak
berupa penurunan tarif PPh final. Pelaksanaan revaluasi aktiva tetap dapat
mendorong meningkatkan Debt to Equity
Ratio suatu entitas bisnis ke angka yang lebih baik dengan batasan yang
telah ditetapkan yaitu 4:1. Dengan melakukan revaluasi aktiva maka akan
berpengaruh ke berbagai aspek dalam pelaporan keuangan perusahaan termasuk
terhadap pajak penghasilan. Pos yang dipengaruhi diantaranya tambahan modal
yang berasal dari pendapatan komperhensif lainnya, modal baru ini bukan termasuk
dalam objek pajak, biaya pinjaman yang dapat diakui sebagai beban dan beban
penyusutan yang semakin besar akibat meningkatnya nilai aktiva yang telah
direvaluasi. Debt to Equity Ratio
bertujuan untuk mencegah tindakan Tax Evasion
dengan skema thin capitalization yang
sering dipraktikan oleh perusaahaan.
Insentif Pajak penghasilan dalam hal
tarif atas selisih nilai hasil revaluasi seperti yang telah diatur dalam PMK
191/PPMK.010/2015 dapat digunakan sebagai salah satu strategi perencaan pajak
berkaitan dengan beban penyusutan dalam jangka waktu yang panjang. Karena beban
penyusutaan semakin besar, maka laba yang diperoleh semakin kecil dan pajak
yang dikenakan juga semakin kecil. Peraturan ini dapat digunakan sebagai salah
satu perencanaan pajak yang baik dan menguntungkan karena selain tarif yang
lebih rendah juga terdapat peningkatan modal yang akan berpengaruh terhadap
Debt to Equity Ratio yang berdampak pada solvabilitas perusahaan. Dalam kasus
PT Waskita Karya (Persero) TBK telah memberikan gambaran bagaimana implementasi
dan perencanaan pajak atas PMK 169/PMK.010/2015 dan PMK 191/PMK.010/2015.
DAFTAR RUJUKAN
Tanpa Nama. 2000. Undang-Undang
Perpajakan No 16 tahun 2009. Perubahan keempat atas undang-undang nomor 6 tahun
1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
Tanpa Nama. 2008. Undang-Undang
Perpajakan No 36 tahun 2008. Perubahan keempat atas undang-undang nomor
7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan.
Tanpa Nama.
2008. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.03/2008. Tentang Penilaian Kembali
Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.
Tanpa Nama.
2015. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 233/PMK.03/2015. Tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 Tentang Penilaian Kembali
Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan yang Diajukan
Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016.
Tanpa Nama. 2015.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015. Tentang Penentuan Besarnya
Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan
Pajak Penghasilan
Darussalam, SE,
Ak, MSi, LLM int.Tax & Danny Septriadi, SE, MSi, LLM int.Tax. Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion,
dan Anti Aviodance Rule. (online) Diakses dari
http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=36&q=&hlm=2
pada tanggal 29 Maret 2016.
Suany, Erly.
2001. Perencanaan Pajak. Jakarta:
Salemba Empat
Tanpa Nama.Laporan
Keuangan PT. WASKITA KARYA (Persero) Tbk. Diakses dari http//www.idx.com pada
tanggal 28 Maret 2016
Wirawan, B Ilyas
DR.,Ak.,Msi.,CPA dan Diaz Priantara,Ak,Msi.,BKP.,CPA.2015.Akuntansi Perpajakan.Jakarta.Mitra Wacana Media.
BalasHapusSaya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut